Powered By Blogger

Minggu, 31 Januari 2010

fiLsafat komunikasi

1. Fenomena Ilmu Komuikasi yang berkaitan dengan audiens media berkaitan dengan teori

Information seeking

Teori pencarian informasi ini berfokus pada perilaku pencarian informasi oleh seseorang dan berusaha untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut. Dengan demikian teori ini memindahkan fokus penelitian dari para komunikator atau masage kepada para penerima atau receiver. Menurut Donohew dan Tipton dalam Suprapto (2006: 38) mengemukakan bahwa model pencarian, penolakan dan pengolahan informasi dapat dianggap sebagai model yang berakar pada tradisi psikologi sosial entang sikap. Individu seakan menghindari informasi yang tidak sesuai dengan realitas karena terasa terlalu mengancam, itu merupakan salah satu yang menjadi asumsi utamanya.

Setiap informasi memiliki potensi untuk mempengaruhi perilaku, tetapi terdapat dua variable yakni valence atau direction dan weight yang memiliki peran penting. Valence disini berarti arah, apakah sebuah informasi akan mendukung atau menyangkal system kepercayaan yang telah kita miliki. Bila informasi sesuai dengan system kepercayaan yang kita miliki maka akan memiliki valence positif, demikian sebaliknya. Sedangkan weight merupakan kecenderungan, lebih tepatnya bisa dikatakan sebuah kredibilitas.

Contoh judul riset :

“ Pola Konsumsi Media Massa Pada Kelompok Pemulung di Lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Piyungan Yogyakarta”

Uses and Gratifications

Teori ini sering digunakan sebagai kerangka teori dala mengkaji realitas komunikasi massa. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa (Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).

Asumsi-asumsi dari teori ini adalah sebagai berikut :

a. Khalayak dianggap aktif, artinya sebagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan.

b. Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.

c. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media hanya bagian dari rentangan kebutuhan manusia yang lebih luas. Bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media amat bergantung kepada perilaku khalayak yang bersangkutan

d. Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak: artinya, orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi- situasi tertentu.

e. Penilaian tentang arti cultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak.

Model used and gratification memandang individu sebagai mahluk suprarasional dang sangat efektif. Ini memang mengundang kritik. Tetapi yang jelas, dalam model ini perhatian bergeser dari proses pengiriman pesan ke proses penerimaan pesan.

Contoh Judul riset :

Hubungan Antara Unit Kegiatan Mahasiswa dan Pilihan Tayangan”

(Studi tentang Hubungan Keikutsertaan Mahasiswa dalam Unit Kegiatan Mahasiswa: SKM UGM Bulaksumur, Unit Fotografi UGM, Unit Futsal, Misa Kampus dan Pilihan Tayangan Televisi yang ditontonnya)

Teori Efek Media รจ Teori kultivasi

Teori ini dikemukakan oleh George Gabner. Teori kultivasi adalah salah satu teori dalam komunikasi yang menekankan kajian pada studi televisi dan audiens. Teori ini berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu, sehingga media mampu mempengaruhi penonton dan menimbulkan kecenderungan bagi penonton untuk menyakininya. Teori kultivasi sangat menonjol dalam kajian mengenai dampak media televisi terhadap khalayak. Bagi Gerbner, dibandingkan media massa yang lain, televisi telah mendapatkan tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita, dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya (McQuail, 1996 : 254).

Contoh judul riset :

“Sinetron Remaja di SCTV dan Pengaruhnya”

(Studi Mengenai Pengaruh Sinetron Remaja Terhadap Gaya Berpakaian Siswi SMA di Kotamadya Yogyakarta)

2. Jelaskan dengan singkat tugas akhir kelompok (tugas menyusun proposal riset) tentang khalayak

“Penelitian tentang Pengaruh Intensitas Menonton Tayangan Kontes Bakat Anak terhadap Sikap Permisif Orang Tua atas Tayangan Tersebut di Kotamadya Yogyakarta”

Latar Belakang

Beberapa tahun ini, industri pertelevisian di Indonesia, tampaknya penuh dengan varian program-program baru. Mulai dari serbuan sinetron di tiap stasiun televisi, lalu keroyokan infotainment yang tak lelah hadir dari pagi hingga sore hari, sampai pada kontes-kontes pencarian bakat mulai dari kontes menyanyi dangdut, hingga lomba berdakwah. Belakangan, kontes pencarian bakat bagi usia anak-anak tengah menjadi tren. Biasanya produser acara-acara semacam ini, membuat program tersebut bertolak dari anggapan, bahwa kini tak ada lagi penyanyi cilik Indonesia sekelas Sherina, Joshua, atau Trio Kwek-Kwek yang mampu hidup di hati tiap-tiap anak kecil jaman sekarang.. Memang benar, anak-anak tak lagi familiar dengan lagu-lagu seperti ‘abang tukang bakso’ atau ‘cita-citaku’, lagu-lagu yang sesuai dengan usia mereka. Mereka lebih fasih menyanyikan lagu-lagu band seperti Ungu, atau Nidji yang biasanya bertema cinta, tema yang kurang sesuai dengan usia mereka sebenarnya.

Bercermin pada suksesnya ajang pencarian bakat penyanyi baru seperti AFI (Akademi Fantasi Indosiar), atau Indonesian Idol yang berhasil menjaring banyak penggemar, dan meraih penjualan iklan yang luar biasa, ajang-ajang semacam itu dilakukan lagi, dengan target peserta berbeda, yaitu anak-anak. Televisi semakin memapankan dirinya sebagai media keluarga dan hiburan, yang terutama menarik bagi orang-orang yang paling sering berada di rumah, yaitu kaum wanita, anak-anak, dan mereka yang berpenghasilan kecil (McQuail, 1987 : 219). Dengan demikian, wanita, anak-anak, dan orang tua cenderung memiliki waktu lebih banyak, dan kurang memiliki uang, sehingga relatif lebih memanfaatkan media yang paling murah dan banyak menyita waktu, seperti televisi. Pandai dalam memetakan audiensnya, program-program reality show seperti ajang pencarian bakat, khususnya bakat anak-anak memang menjanjikan dalam pencapaian ratings yang tinggi. Penonton digiring untuk memiliki hubungan secara ‘emosional’ dengan program tersebut karena merasa menjadi bagian dari keberlangsungan ‘nasib’ seseorang. Belum lagi, biasanya program acara semacam ini, mampu menjual ‘kisah sedih’ pesertanya sebagai produk yang laku dijual.

Beberapa tahun lalu, pernah muncul wacana tentang ‘eksploitasi’ anak, berkenaan dengan diperkerjakannya anak-anak dibawah umur. Mereka lebih mengamini, sebagai pihak yang memberikan dukungan bagi bakat dan kemauan dari sang anak. Anak-anak seperti Joshua bukan tidak mungkin harus kehilangan masa kanak-kanak mereka, karena harus bekerja dan mencari uang. Bias antara anak bekerja karena kemauannya sendiri atau karena ambisi orangtua, sempat membuat dicetuskannya rancangan undang-undang yang akan mengatur hal tersebut. Rancangan Undang-Undang yang menuai protes dari para orangtua yang memiliki anak yang bekerja ( sebagai aktris atau penyanyi ), juga sempat diprotes dari anak-anak yang bersangkutan sendiri. Permasalahan tersebut akhirnya mereda dan menghilang seiring dengan waktu. Nah, jika kita lihat akhir-akhir ini, pola program pencarian bakat anak-anak mengarah ke arah eksploitasi anak. Anak menjadi artis, dan mama menjadi managernya. Tugas manager adalah bagaimana dapat ‘menjual’ dan mempromosikan artisnya kepada pihak penyelenggara. Orangtua yang bernegoisasi, dan anak yang bekerja. Begitu banyaknya tayangan semacam itu, membuat permasalahan anak yang bekerja, yang beberapa tahun lalu menjadi polemik, berubah menjadi hal yang wajar dan lazim di mata khalayak. Apakah ini menjadi tanda bahwa masyarakat telah bersikap permisif terhadap tayangan-tayangan semacam itu?

Penelitian ini berusaha untuk mengkorelasikan intensitas menonton tayangan kontes bakat anak dengan sikap permisif orangtua terhadap tayangan tersebut. Orangtua yang diharapkan dapat menjadi pelindung anak, dan yang memiliki otoritas untuk mengarahkan hidup sang anak sebelum mereka beranjak dewasa, mampu memilah dan memilih tontonan yang memang mendidik, atau malah bersikap permisif terhadap tayangan yang cenderung mengeksploitasi anak. Penelitian ini diharapkan dapat membuka realitas sosial dan menjadi alarm dini bagi dampak yang mungkin lebih kompleks. Orangtua selalu memiliki harapan yang tinggi terhadap anak-anak mereka. Namun, jangan sampai harapan tinggi itu, malah membawa anak ke dalam kehidupan bekerja yang belum waktunya dijalani. Anak-anak membutuhkan waktu untuk tumbuh dan belajar dalam dunia masa kecil mereka, sebelum mereka benar-benar siap keluar dari kepompongnya, dan berani menantang kerasnya kehidupan.

Rumusan Masalah

“ Bagaimana pengaruh intensitas menonton tayangan konteks bakat anak terhadap sikap permisif orang tua atas tayangan tersebut di kotamadya Yogyakarta”

Tujuan Riset

Untuk mengetahui pengaruh intensitas menonton tayangan konteks bakat anak terhadap sikap permisif orang tua atas tayangan tersebut di kotamadya Yogyakarta.

Konsep dan Teori yang digunakan

Intensitas Menonton

Intensitas menonton diartikan bukan hanya sekedar melihat sebuah tayangan namun juga secara intens memperhatikannya. Dalam research audience, terpaan media dapat diukur dengan tiga dimensi dimana hal ini dapat menunjukan tingkat intensitas audiens dalam mengakses media.

1. Penggunaan media

2. Frekuensi penggunaan media

3. Durasi audiens berinteraksi dengan media

(Endang S. sari, 1993)

Tayangan Kontes Bakat Anak

Talent atau bakat sering kali diartikan dengan kemampuan, kelebihan atau keunggulan yang sering kali dimiliki seseorang. Kemampuan tersebut bisa meliputi apa saja, bahkan menurut pakar pendidikan dari Harvard University Thomas Amstrong ada banyak bentuk kemampuan yang bisa muncul dalam setiap orang seperti kemampuan akting, kreatifitas, imajinasi, musik dsb. Salah satu bakat yang saat ini sedang popular di kalangan masyarakat adalah bakat bermusik atau bernyanyi. Hal ini dikarenakan saat ini acara-acara ajang pencarian bakat menyanyi dadakan banyak mewarnai pertelevisian Indonesia.

Berbagai acara ajang pencarian bakat tersebut mulai popular di indoensia pada awal tahun 2000, saat itu kemunculan Akademi Fantasi Indosiar (AFI) menjadi tayangan favorit penonton di Indoensia. Keberhasilan AFI ini kemudian diikuti oleh berbagai stasiun televisi lain yang juga membuat acara serupa seperti Indonesian Idol di RCTI dan Kontes Dangdut TPi (KDI).

Kepopuleran berbagai acara tersebut dikarenakan bentuk acaranya yang berupa reality show. Bentuk acara seperti itu mempunyai kelebihan dalam menyentuh pemirsanya, reality show seperti di atas biasanya menggunakan orang biasa yang tiba-tiba menjadi popular karena masuk TV. Hal ini membawa dampak bagi para penonton berupa perasaan bahwa mereka juga bisa mengalami nasib yang sama dengan orang-orang tersebut. Perasaan bisa menjadi bagian dari acara TV itulah yang kemudian membuat banyak orang senang mengikuti berbagai acara tersebut. Namun, oleh karena kejenuhan masyarakat dengan banyaknya acara serupa tersebut maka membuat para pekerja di industri televisi membuat berbagai variasi terhadap tayangan tersebut.

Diantara berbagai variasi yang dibuat oleh para pelaku bisnis televisi tersebut antara lain penggunaan anak-anak sebagai peserta (AFI Junior-Indosiar dan Idola Cilik-RCTI) dan atau pengikut sertaan orang tua sebagai bagian dari kegiatan audisi tersebut (Mamamia Show-Indosiar). Bentuk acara tersebut biasanya berupa audisi dengan pemilihan pemenang melibatkan para penonton dengan cara voting. Acara diawali dengan audisi di daerah-daerah dan kemudian bagi yang terpilih akan berangkat ke Jakarta dan tampil di televisi. Dari sini bisa dilihat beberapa faktor utama dalam ajang tersebut. Pertama, pemilihan peserta yang berasal dari berbagai daerah, yang berarti mereka orang-orang biasa dan bahwa hal ini bisa terjadi pada siapa saja.

Kedua, perolehan SMS yang melibatkan penonton yang berarti pemenang adalah orang yang paling popular dan terkenal. Para peserta yang tampil tersebut kemudian dianggap merefleksikan para penonton –yang merupakan orang biasa- yang juga mempunyai mimpi mejadi popular dan terkenal. Tidak mengherankan jika kemudian acara ini menjadi favorit bagi penonton, tidak peduli bahkan ketika banyak kritik datang terhadap tayangan-tayangan tersebut.

Berbagai tayangan yang melibatkan anak-anak sebagai peserta dan atau orang tua yaitu :

1. AFI Junior-Indosiar

2. Pildacil – Lativi

3. Mamamia Show-Indosiar

4. Bintang Cilik -RCTI

5. Idola Cilik –RCTI

6. Cabe Rawit-TPI, (new)

Acara-acara ajang pencarian bakat yang melibatkan anak-anak sebagai peserta dan orang tua tentu memiliki dampak yang lebih lagi, karena dengan penggunaan mereka membuat para orang tua yang menonton merasa bahwa hal itu bisa terjadi pada anak-anak mereka. Dengan adanya harapan tersebut, maka orang tua kemudian akan mendukung dan mengikutsertakan anak-anak mereka.

Sikap Permisif

Sikap

Secara historis, istilah ‘sikap’ atau (attitude) pertama kali digunakan oleh Herbert Spencer di tahun 1862 yang pada saat itu diartikan sebagai status mental seseorang (Allen, Guy dan Edgley, 1980 dalam Azwar, 1998: 3). Sikap manusia telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli. Berkowitz bahkan menemukan adanya lebih dari tiga puluh definisi sikap yang terangkum dalam tiga kategori kerangka pemikiran, sbb:

q Pertama dikemukakan oleh Louis Thurstone, Rensis Likert, charles Osgood. Mereka mengemukakan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terehadap obyek adalah pereasaan mendukung (favorable) atau tidak mendukunag (unfavorable)

q Kelompok pemikiran kedua, Chave, Bogardus, LaPiere, mead, Gordon Allport. Menurut mereka, sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara-cara tertentu.

q Kelompok pemikiran ketiga berorientasi pada skema triadik. Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu obyek.

Di samping pembagian kerangka pemikiran tradisional seperti di atas, terdapat pemikiran di kalangan ahli psikologi sosial kontemporer mengenai sikap ini. Pemikiran mereka terangkum dalam dua pendekatan besar: Pendekatan pertama memandang sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku dan kognitif terhadap suatu obyek. Pendekatan kedua mengajukan pernyataan bahwa sikap tidak lain adalah afek atau penilaian – positif atau negatif – terhadap suatu obyek. Hal inilah yang kemudian akan menentukan respon seseorang terhadap obyek.

Menurut Sherif dan Sherif (1956: 489 dalam Rakhmat, 2001) sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Bila sikap seseorang positif terhadap suatu obyek, berarti orang tersebut akan setuju dengan eksistensi atau perkembangan obyek tersebut sekaligus menghindari hal-hal yang merugikannya.

Mengikuti skema triadik, struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yakni komponen kognitif, afektif dan konatif yang dpat dijelaskan sbb:

q Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap.

q Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap obyek sikap (menyangkut masalah emosional). Komponen ini menunjukkan arah sikap positif dan negatif. Rasa senang merupakan hal positif dan rasa tidak se nang merupakan hal yang negatif. Pada umumnya komponen afektif banyak ditemukan oleh kepercayaan atau apa saja kita percayai sehingga benar bagi obyek yang dimaksud (Ibid: 26)

q Komponen konatif adalah kecenderungan (kesiapan) untuk berperilku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki subyek. Asumsi dasar adalah bahwa kepercayaan dan perasaan mempengaruhi perilaku, bagaimana orang akan berprilaku terhadap stimulus tertentu. Sedangkan pengertan kecenderungan berprilaku berupa pernyataan dan perkataan yang diucapkan seseorang.

Sikap dapat diungkap dan dipahami dari dimensinya, yakni:

q Arah (sikap terplah pada dua arah yakni setuju atau tidak setuju, mendukung atau tidak mendukung, favorable atau nonfavorable)

q Intensitas (kedalaman atau kekautan sikap terhadap suatu obyek belum tentu sama walauppun arahnya mungkin tidak berbeda)

q Keluasan ( kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap obyek dapat mencakup aspek yang sedikit dan sangat spesifik atau luas dan beragam)

q Konsistensi (kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan responnya terhadap obyek sikap termakasud)

q Spontanitas (sejauh mana kesiapan individu menyatakan sikap secara spontan).

Perubahan Sikap (Hudaniah, 2006 : 117)

Menurut Bimo Walgito (1980) pembentukan dan perubahan sikap di pengaruhi oleh dua faktor yaitu

1. Faktor internal, yaitu individu akan bersikap selektif dalam menanggapi dunia luar sehingga tidak semua unsur baru diterima atau ditolak.

2. Faktor eksternal, keadaan di luat diri individu yang merupakan stimulus untuk membentuk dan mengubah sikap.

Sedangkan menurut Mednick, Higgins, dan Kirschenbaum (1975) menyebutkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu

1. Pengaruh sosial seperti norma dan budaya

2. karakter kepribadian individu

3. Informasi yang di terima

Sikap Permisif

Sikap permisif disini merupakan salah satu bentuk perubahan sikap. Permisif berasal dari bahasa Inggris Permissive, yang berarti sikap mengizinkan atau kelonggaran sikap seseorang dalam memaknai suatu pernyataan atau tindakan tertentu sebagai sesuatu yang benar. Sikap permisif ini merupakan turunan dari konsep sikap yang evaluatif di atas. Ketika seseorang memberikan respon positif terhadap sesuatu berarti dia tengah bersikap permisif terhadap suatu tersebut.

Respon permisif ini dapat dilihat dari tiga kategori respon – seperti telah diungkapakan di atas – yakni:

1. Komponen kognitif.

2. Komponen afektif.

3. Komponen konatif.

Orang Tua

Menurut Wikipedia, Ibu adalah orang tua perempuan seorang anak, baik melalui hubungan biologis maupun sosial. Umumnya, ibu memiliki peranan yang sangat penting dalam membesarkan anak, dan panggilan ibu dapat diberikan untuk perempuan yang bukan orang tua kandung (biologis) dari seseorang yang mengisi peranan ini. Contohnya adalah pada orang tua angkat (karena adopsi) atau ibu tiri (istri ayah biologis anak).

Ayah adalah orang tua lelaki seorang anak. Tergantung hubungannya dengan sang anak, seorang "ayah" dapat merupakan ayah kandung (ayah secara biologis) atau ayah angkat. Panggilan "ayah" juga dapat diberikan kepada seseorang yang secara de facto bertanggung jawab memelihara seorang anak meskipun anatar keduanya tidak terdapat hubungan resmi.

Teori-teori

Dalam penelitian ini, ada beberapa teori yang digunakan, yaitu:

Teori Kultivasi (Miller)

Teori kultivasi adalah teori dalam komunikasi yang menekankan kajiannya pada studi televisi dan audiens. Gerbner merupakan pencetus teori ini berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu, sehingga media mampu mempengaruhi penonton dan menimbulkan kecenderungan bagi penonton untuk meyakininya. Teori ini berpandangan bahwa isi pesan lebih banyak dipengaruhi oleh institusi-institusi masyarakat daripada kekhususan televisi sebagai media. Isi pesan tersebut mempengaruhi persepsi yang terbangun di benak kita tentang masyarakat dan budaya (Miller,2001:269).

Penelitian kultivasi menekankan bahwa media massa sebagai agen sosilaisasi dan menyelidiki apakah penonton televisi lebih baik mempercayai apa yang disuguhkan dalam program-program televisi daripada kenyataan yang mereka hadapi sebenarnya. (Miller,2001:271).

Menurut Mc Quail dan Windahl (1993), teori kultivasi menganggap bahwa televisi tidak hanya disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari-hari disekitar kita tetapi justru dunia itu sendiri. Efek kultivasi memberikan kesan bahwa televisi mempunyai dampak yang kuat pada diri individu. Bahkan, mereka menganggap bahwa lingkungan disekitarnya sama seperti yang tergambar dalam layar kaca (Miller,2001:272).

Media tidak menciptakan sikap dan nilai kebudayaan itu melainkan menjaga, mengembangkan, dan membantu kebudayaan untuk menjaga dan mengadaptasikan nilai itu, memperluas penyebaran di kalangan masyarakat budaya tersebut sehingga mengikat mereka dengan konsensus yang sama sebagai intersubjektivitas (Fiske, 2004:207). .

Teori kultivasi menganggap bahwa penonton itu pasif. Teori kultivasi lebih memfokuskan pada kuantitas menonton televisi dan tidak menyediakan perbedaan yang mungkin muncul ketika penonton menginterpretasikan pesan. Analisa kultivasi mengasumsikan terlalu banyak homogenitas dalam televisi (Miller,2001:274).

Social Learning Theory (DeFleur, 1989:213-217)

Teori ini beranggapan bahwa manusia belajar kebiasaan baru ataupun nilai-nilai baru dari rangsangan tertentu di sekitarnya. Teori ini sangat berkaitan dengan kajian media karena media senantiasa menampilkan gambaran tentang kehidupan sosial. Tokoh-tokoh dalam tayangan itu dapat dijadikan model imitasi oleh masyarakat. Selanjutnya, audiens yang melihat tayangan tersebut dapat mencoba dan pada akhirnya mengadopsi tingkah laku tokoh/model tersebut. Dalam hal ini, keinginan untuk melakukan imitasi akan semakin besar ketika hal tersebut memberikan pengalaman yang menyenangkan. Sebuah literasi menunjukkan bahwa baik anak-anak maupun orang dewasa mempelajari tingkah laku, respon-respon sosial dan gaya bersikap melalui media, terutama televisi dan film.

Meskipun begitu, teori ini akan berbeda bagi masing-masing orang. Hal ini dikarenakan masing-masing orang memiliki pemahaman, pengalaman dan latar belakang yang berbeda-beda.

Untuk menjelaskan tentang pembelajaran bentuk tingkah laku dari media, bisa menggunakan modelling process. Secara garis besar, modelling process ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:

Social Judgement Theory

Teori ini dikemukan oleh Muzafer Sherif, Carolyn Sherif, dan koleganya. Perubahan sikap dipengaruhi oleh faktor cognitive judgement. Dalam prosesnya seseorang selalu berusaha membandingkan suatu informasi yang diterimanya dengan sistem perilaku dan kepercayaan yang telah hidup selama ini (Miller, 2001:116).

Menurut teori ini, sikap seseorang dalam menerima atau tidak menerima informasi sangat dipengaruhi oleh variabel kunci yang disebut ego involvement (keterlibatan ego). Keterlibatan ego adalah derajat relevansi seseorang terhadap informasi yang diterima (Littlejohn, 2002:130).

Social Judgement theory mempunyai prediksi mengenai kemungkinan perubahan individu akibat penerimaan informasi. Apabila informasi itu sesuai dengan sikap individu maka akan terjadi asimilasi informasi termasuk didalamnya informasi baru yang ada dalam batas-batas penerimaannya (Latitude of acceptance). Sebaliknya apabila informasi tersebut tersebut bertentangan dengan sikap maupun kepercayaan yang dipegang oleh individu maka akan terjadi penolakan (lattitude of rejection). Hal ini berakibat perubahan sosial tidak akan terjadi. Diantara penolakan dan penerimaan itu ada kemungkinan individu memilih bersikap netral ketika informasi tersebut berada diluar pemahaman (lattitude of noncommitment) (Littlejohn, 2002: 131; Miller, 2001:117).

Teori Norma-norma Budaya (Sunaryo, 2005:106)

Teori ini melihat cara media massa mempengaruhi perilaku sebagai sebuah produk budaya. Media melalui pesan-pesan yang disampaikan dapat menumbuhkan kesan-kesan yang oleh audiens disesuaikan dengan norma-norma budaya.

Perilaku individu pada umumnya didasarkan pada norma budaya yang disesuaikan dengan situasi yang dihadapi. Media akan bekerja secara tidak langsung mempengaruhi individu tersebut.

Menurut De Fleur ada tiga cara media mempengaruhi norma budaya.

1. Pesan komunikasi massa dapat memperkokoh pola budaya yang masih berlaku.

2. Komunikasi massa menciptakan pola baru yang tidak bertentangan dengan pola budaya yang sudah ada.

3. Komunikasi massa mengubah pola budaya yang sudah ada.

3. Jelaskan Soal nomor dua dengan menggunakan aktifitas filsafat ilmu terhadap objek pengetahuan :

  • Ontologi

· Epistimologi

· Aksiologi

ONTOLOGI

Ontologi adalah analisis tentang objek materi dari ilmu pengetahuan, yaitu hal-hal atau benda-benda empiris. Ontologi diartikan sebagai cabang filsafat yang mencoba menyelidiki realitas tentang suatu hal. Peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi secara alami menjadi dasar pembentukan sebuah teori. Dalam teori-teori komunikasi, isu yang muncul dalam pembentukan teori secara ontologi adalah peristiwa atau fenomena yang dialami manusia, baik secara pribadi maupun kolektif. Ontologi memiliki kedekatan dengan epistemologi, sebab realitas akan menentukan cara kerja sebuah ilmu pengetahuan.

Pada penelitian tentang pengaruh intensitas menonton tayangan kontes bakat anak terhadap sikap permisif orang tua merupakan penelitian yang banyak membicarakan tentang peranan televisi sebagai salah satu media massa dalam mempengaruhi sikap dari khalayak khususnya orang tua yang menjadi penontonnya. Terdapat faktor-faktor lain selain dari media massa yang mampu meningkatkan pengaruh dari efek media massa. Salah satu faktor yang memberikan pengaruh ialah lingkungan dan relasi sosial. Dalam hal ini yang menjadi pokok riset adalah orang tua.

EPISTIMOLOGI

Epistemologi adalah sebuah kajian yang mempelajari asal mula, atau sumber, struktur dan metode pengetahuan. Epistemologi berusaha menjawab bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu. Bagaimana prosedurnya. Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar. Cara atau tehnik atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu. Epsitemologi berasal dari kata Episteme (ilmu pengetahuan) dan Logos (pengetahuan), yang berarti pengetahuan tentang pengetahuan. Littlejohn menyebutnya sebagai cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan. Epistemologi juga diartikan teori pengetahuan yang memuat cara kerja dan pengandaian-pengandaian dalam mencari kebenaran dalam pengetahuan.

Pada penelitian tentang pengaruh intensitas menonton tayangan kontes bakat anak terhadap sikap permisif orang tua, jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif.

Untuk teknik pengambilan data yaitu dengan suvey yaitu pengumpulan informasi dari sebagian populasi yang dianggap dapat mewakili populasi tertentu. Metode ini bertitik tolak pada konsep, hipotesis dan teori yang sudah mapan sehingga tidak dapat memunculkan teori baru. Penelitian survey memiliki sifat verifikasi atau pengecekkan terhadap teori yang sudah ada. Penelitian ini menggunakan pendekatan Social Uses yang diungkapkan oleh James Lull. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang efek media (kultivasi, hypodermic) dan Uses and Gratifications.

AKSIOLOGI

Aksiologi membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkannya. Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan seperti yang dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik ataupun fisik material (Koento, 2003: 13).

Penelitian mengenai pengaruh intensitas menonton tayangan kontes bakat anak dengan sikap permisif orangtua. Penelitian ini diharapkan dapat membuka realitas sosial dan menjadi alarm dini bagi dampak yang mungkin lebih kompleks. Melalui penelitian ini setidaknya mampu menyadarkan serta memberikan peringatan kepada masyarakat pada umumnya serta orangtua pada khususnya bahwa perlu adanya kesadaran terhadap kebiasaan mengakses media televisi.

Penelitian ini berusaha untuk mengkorelasikan intensitas menonton tayangan kontes bakat anak dengan sikap permisif orangtua terhadap tayangan tersebut. Orangtua yang diharapkan dapat menjadi pelindung anak, dan yang memiliki otoritas untuk mengarahkan hidup sang anak sebelum mereka beranjak dewasa, mampu memilah dan memilih tontonan yang memang mendidik, atau malah bersikap permisif terhadap tayangan yang cenderung mengeksploitasi anak. Penelitian ini diharapkan dapat membuka realitas sosial dan menjadi alarm dini bagi dampak yang mungkin lebih kompleks. Orangtua selalu memiliki harapan yang tinggi terhadap anak-anak mereka. Namun, jangan sampai harapan tinggi itu, malah membawa anak ke dalam kehidupan bekerja yang belum waktunya dijalani. Anak-anak membutuhkan waktu untuk tumbuh dan belajar dalam dunia masa kecil mereka, sebelum mereka benar-benar siap keluar dari kepompongnya, dan berani menantang kerasnya kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

DeFleur, Melvin L. 1989. Theories of Mass Communication. AS : Longman Inc

Fiske, John. 2005. Communication and Culture Studies. Yogyakarta : Jalasutra..

Hudaniah,Tri Dayaksini. 2006. Psikologi Sosial edisi revisi. Malang:UMM Press.

Litlejohn, Stephen W.2001. Theorist of Human Communication.USA:Wadsworth.

McQuails, Denis. 2003. Mass Communication Theory. London: Sage Publications.

Miller, Katherine. 2002. Communication Theorist. USA: McGraw Hill Companies

Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Bab 2. Bandung.

Sari, S. Endang. 1993. Audience Research edisi pertama. Jogjakarta: Andi Offset.

Schramm, Wilbur & Roberts Donald F. (editor). 1971. The Process and Effects of Mass Communication, Revised edition, Urbana, Chicago & London: University of Illinois Press.

Sunaryo, M.Si, Drs. 2005. Sosiologi Komunikasi. Yogyakata : Arti Bumi Intaran.

Suprapto, Tommy. 2006. Pengantar Teori Komunikasi. Jogjakarta: Media Pressindo

INTERNET

http://id.wikipedia.org/wiki/Ibu

http://www.petitiononline.com/wrmindo/petition.html

http://program.indosiar.com/prog_index.htm?idjn=62&sj=Resensihttp://www.e-psikologi.com/dewasa/index.html

http://www.m-w.com/cgi-bin/dictionary?va=intensity

http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=blogcategory&id=23&Itemid=37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar